Jumaat, 26 Julai 2013

Perang Hunain (3)


Ustaz Abu Muhammad Harits, 26 Jul 2013
Kaum Anshar dan Ghanimah

Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, beliau berkata, maksudnya:

“Ketika Rasulullah SAW mulai membahagi-bahagikan ghanimah kepada beberapa tokoh Quraisy dan kabilah ‘Arab; sama sekali tidak ada dari mereka satu pun yang dari Ansar. Hal ini menimbulkan kejengkelan dalam hati orang-orang Anshar hingga berkembanglah pembicaraan di antara mereka, sampai ada yang mengatakan: “Rasulullah SAW sudah bertemu dengan kaumnya kembali.”

Kemudian masuklah Sa’d bin ‘Ubadah menemui Rasulullah RA, katanya: “Wahai Rasulullah. Orang-orang Ansar ini merasa tidak gembira terhadap tuan melihat apa yang tuan lakukan dengan harta rampasan yang diperoleh dan tuan bahagikan kepada kaummu. Engkau bahagikan kepada kabilah ‘Arab dan tidak ada satu pun Anshar yang menerima bahagian.”

Rasulullah RA bertanya: “Engkau sendiri di pihak mana, wahai Sa’d?”

Katanya: “Saya hanyalah sebahagian dari mereka.”

Kata Rasulullah SAW: “Kumpulkan kaummu.”

Lalu datang beberapa orang Muhajirin tapi baginda biarkan mereka, dan mereka pun masuk. Datang pula yang lain, tapi beliau menolak mereka. Setelah mereka berkumpul, Sa’d pun datang, katanya: “Orang-orang Ansar sudah berkumpul untukmu wahai Rasulallah.”

Rasulullah SAW pun menemui mereka, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan pujian yang layak bagi-Nya. Kemudian beliau bersabda: “Wahai sekalian orang Ansar, apa pembicaraanmu yang sampai kepadaku? Apa perasaan tidak gembira yang kalian rasakan dalam hati kalian? Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi hidayah kepada kamu melalui aku? Bukankah kamu miskin lalu Allah kayakan kamu denganku? Bukankah kamu dahulu bermusuhan lalu Allah satukan hati kamu?”

Kata mereka: “Bahkan Allah dan Rasul-Nya lebih banyak memberi kebaikan dan keutamaan.”

Rasulullah SAW menukas: “Mengapa kamu tidak membantahku, wahai kaum Ansar?”

“Dengan apa kami membantahmu, wahai Rasulullah? Padahal kepunyaan Allah dan Rasul-Nya semua kebaikan serta keutamaan,” jawab orang-orang Ansar.

Kata Rasulullah SAW: “Demi Allah, kalau kamu mahu, kamu dapat mengatakan dan pasti kamu benar dan dibenarkan: ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami yang membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan terhina, kamilah yang membelamu. Engkau datang dalam keadaan terusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau datang dalam keadaan miskin, kamilah yang mencukupimu. Apakah kalian dapati dalam hati kamu, hai kaum Ansar keinginan terhadap sampah dunia, yang dengan itu aku melunakkan hati suatu kaum agar mereka menerima Islam, dan aku serahkan kamu kepada keislaman kamu. Tidakkah kamu redha, hai orang-orang Ansar, manusia pergi dengan kambing dan unta mereka, sedangkan kamu pulang ke kampung halamanmu membawa Rasulullah? Demi yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentulah aku termasuk salah seorang dari Ansar. Seandainya manusia menempuh satu lembah, dan orang-orang Ansar melewati lembah lain, pastilah aku ikut melewati lembah yang dilalui orang-orang Ansar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak kaum Ansar, dan cucu-cucu kaum Ansar.”

Mendengar ini, menangislah orang-orang Ansar hingga basah janggut-janggut mereka, sambil berkata: “Kami redha bahagian kami adalah Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah SAW pergi, dan kami pun bersurai.


Perang Thaif

Sebahagian besar pasukan Hawazin dan Tsaqif yang melarikan diri akhirnya masuk ke benteng Thaif bersama panglima mereka, Malik bin ‘Auf An-Nadhari. Maka Rasulullah SAW pun bergerak mengejar mereka setelah mengumpulkan ghanimah di Ji’ranah bulan itu juga.

Khalid bin Al-Walid bersama 1,000 perajurit mendahului di barisan hadapan. Kemudin Rasulullah SAW menyusul ke Thaif. Dalam perjalanan itu pasukan muslimin diperintah menghancurkan benteng Malik bin ‘Auf yang ada di Liyyah. Setelah tiba di Thaif, mereka mengepung benteng tersebut hingga beberapa hari. Ada yang mengatakan 40 hari, tapi ahli sejarah menyebutkan sekitar 20 hari.

Dalam pengepungan ini terjadi saling lempar batu dan panah. Pada awal pengepungan itu, kaum muslimin diserang dari dalam benteng bertubi-tubi sehingga menyebabkan beberapa orang terluka dan sekitar 12 orang gugur. Akhirnya mereka pindah ke tempat yang sekarang dibangun masjid Thaif dan bermarkas di sana.

Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan untuk melemparkan manjaniq (peluru besi berapi) hingga melubangi dinding benteng. Beberapa pasukan berusaha menerobos masuk dari bawah dinding, tetapi disambut dengan ranjau-ranjau besi yang membara. Akhirnya kaum muslimin keluar, dan mereka diserang lagi dengan panah sehingga beberapa orang muslimin gugur.

Melihat ini Rasulullah SAW memerintahkan agar menebang dan membakar ladang-ladang anggur mereka. Hal ini membuat cemas orang-orang Tsaqif, lalu mereka meminta kepada Nabi SAW agar beliau membiarkan tanaman tersebut. Baginda pun membiarkannya.

Setelah itu, Rasulullah SAW memerintahkan agar diserukan bahwasanya siapa saja budak yang keluar dari benteng dan datang kepada Rasulullah SAW maka dia merdeka. Mendengar ini, keluar 23 orang budak termasuk Abu Bakrah. Dia memanjat dinding benteng dan turun dengan timba bulat yang dipakai untuk mengambil air minum lalu menemui Rasulullah SAW. Oleh Rasulullah SAW, dia pun diberi kuniah Abu Bakrah. Rasulullah SAW membebaskan mereka dan menyerahkan masing-masing mereka kepada seorang muslim untuk dijaga. Hal ini semakin menyusahkan penghuni benteng.

Semakin lama pengepungan semakin berat dan menyusahkan pasukan muslimin. Terlebih lagi para penghuni benteng telah menyiapkan bekal untuk bertahan selama setahun. Akhirnya Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meninggalkan benteng tersebut.

Naufal bin Mu’awiyah Ad-Daili menyarankan kepada Rasulallah: “Mereka itu seperti pelanduk di lubangnya. Kalau tuan tetap mengepungnya nescaya tuan dapat menangkapnya. Tapi kalau tuan membiarkannya, maka dia tidak akan merugikan tuan.”

Saat itulah Rasulullah SAW bertekad meninggalkan benteng. Beliau memerintahkan ‘Umar bin Al-Khathab bahawa mereka akan pulang esok. Tetapi ada sebahagian sahabat yang tidak menerima dan berasa keberatan, kata mereka: “Kita pergi dari sini padahal kita belum menaklukkan mereka?”

Rasulullah SAW pun menukas: “Kita berangkat untuk perang.” Maka keesokan paginya mereka berangkat untuk menyerang, tetapi mereka malah mendapat serangan hebat hingga ada yang terkorban. Akhirnya Rasulullah SAW berkata pula: “Kita bersiap untuk pulang besok, Insya-Allah.” Tentu saja hal ini menyenangkan para sahabat. Mereka pun tunduk menerima dan mulai bertolak untuk pulang, sedangkan Rasulullah SAW tertawa.

Ada yang mengatakan kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, doakanlah kejelekan terhadap Tsaqif.”

Kata Rasulullah SAW: “Ya Allah, berilah hidayah kepada Tsaqif dan datangkanlah mereka.”

Akhirnya Rasulullah SAW kembali ke Ji’ranah menunggu beberapa hari sebelum membahagi-bahagikan ghanimah dengan harapan Hawazin akan datang dalam keadaan taubat dan menerima Islam, lalu beliau akan menyerahkan kepada mereka harta dan keluarga mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun dari mereka yang datang menemui beliau hingga beliau pun membahagi-bahagikan ghanimah tersebut.

Utusan Hawazin

Setelah membahagi-bahagikan ghanimah, tidak berapa lama datanglah utusan Hawazin seramai 14 orang dipimpin oleh Zuhair bin Shurad termasuk Abu Burqan, bapa saudara susuan Rasulullah   SAW. Mereka masuk Islam dan berbai’at lalu berkata: “Wahai Rasulullah. Sesungguhnya di antara yang jadi tawanan anda ini adalah ibumu dan saudara perempuanmu, ‘ammah (bibi dari pihak ayah) dan khalah (bibi dari pihak ibu, yakni dari susuan).”

Rasulullah SAW berkata kepada mereka: “Yang bersamaku adalah seperti yang kamu lihat. Yang paling aku sukai adalah perkataan yang paling jujur. Anak isteri kalian yang lebih kalian sukai untuk dikembalikan ataukah harta kalian?”

Kata mereka: “Kami tidak akan menukar anak-anak dan isteri-isteri kami dengan harta sedikitpun.”

Baginda pun berkata: “Seusai solat zuhur datanglah dan katakan: ‘Kami mencari syafaat kepada Rasulullah SAW menghadapi kaum muslimin dan mengharap syafaat kepada kaum muslimin menghadapi Rasulullah SAW agar mengembalikan kepada kami tawanan yang ada’.”

Selesai solat zuhur, mereka berdiri dan mengucapkan hal itu. Rasulullah SAW pun berkata: “Adapun yang di tanganku dan Bani ‘Abdil Muthalib maka itu dikembalikan kepada kalian. Aku akan mintakan hak kalian kepada kaum muslimin.”

Mendengar perkataan beliau, kaum Muhajirin dan Anshar berkata: “Apa yang ada di tangan kami maka itu untuk Rasulullah SAW.”

Al-Aqra’ bin Habis berkata: “Adapun saya dan Bani Tamim, tidak akan menyerahkan tawanan kami.”

‘Uyainah bin Hishn juga menukas: “Apa yang di tangan saya dan Bani Fazarah tidak akan kami serahkan.”

Al-’Abbas bin Mirdas juga berucap: “Yang di tanganku dan Bani Sulaim tidak akan kami serahkan.” Tetapi Bani Sulaim justeru mengatakan: “Apa yang di tangan kami maka itu milik Rasulullah SAW.”

Mendengar ini, Al-’Abbas bin Mirdas berkata kecewa: “Kalian memalukanku.”

Rasulullah SAW pun berkata: “Sesungguhnya mereka ini datang dalam keadaan muslim. Aku sudah menjauhkan tawanan mereka dan memberi mereka pilihan. Tapi mereka tidak akan menukar anak isteri mereka dengan apapun. Maka siapa yang masih menahan tawanan dan rela hatinya serta mahu mengembalikan, itu adalah haknya. Dan siapa yang mahu menahan haknya hendaklah dia mengembalikannya juga kepada mereka dan akan diganti haknya itu setiap bahagiannya dengan enam kali lipat dari fai’ yang pertama Allah anugerahkan kepada kami.”

Akhirnya kaum muslimin pun berkata: “Kami lebih suka menyerahkannya kepada Rasulullah SAW.”

Kata Baginda: “Kami tidak tahu siapa di antara kamu yang rela dan yang tidak. Kembalilah hingga cerdik pandai di kalangan kamu menyerahkan urusannya kepada kami.”
Akhirnya, mereka pun mengembalikan anak-anak dan isteri-isteri orang-orang Hawazin tersebut. Tidak ada yang tertinggal kecuali ‘Uyainah bin Hishn yang akhirnya menyerahkan juga seorang wanita tua yang jadi tawanannya. Rasulullah SAW pun memberi pakaian kepada setiap tawanan.

Setelah selesai membahagi dan mengembalikan tawanan, Rasulullah SAW menuju Ji’ranah dan bersiap ‘umrah lalu kembali pulang ke Madinah. Beliau tugaskan ‘Attab bin Usaid mengatur urusan kaum muslimin di Makkah.

Pada bulan Zulkaedah tahun ke-8 hijrah, rombongan kaum muslimin mulai bertolak kembali ke Madinah.

Utusan Tsaqif

Sebelum tiba di Madinah, salah seorang pemuka Tsaqif yaitu ‘Urwah bin Mas’ud datang menemui Rasulullah SAW setelah usai perang Thaif, pada bulan Zulkaedah. Dia masuk Islam lalu kembali kepada kaumnya untuk mengajak mereka masuk Islam. Karena kedudukannya sebagai pemuka yang ditaati di tengah-tengah kaumnya, ‘Urwah mengira mereka akan mengikuti pula jejaknya masuk Islam.

Tetapi, setelah dia mengajak mereka, ternyata mereka menembakinya dengan panah dari segala penjuru sampai akhirnya dia terkorban.

Penduduk Tsaqif kembali seperti biasa selama beberapa bulan. Kemudian mereka bermusyawarah melihat kenyataan bahwa mereka tidak mungkin sanggup melawan kabilah ‘Arab di sekitar mereka yang sudah masuk Islam dan berbai’at. Akhirnya mereka ingin mengutus ‘Abd Ya Lail bin ‘Amr.

Tapi ‘Abd Ya Lail menolak. Dia bimbang kejadian yang menimpa ‘Urwah akan dialaminya juga, dia pun berkata: “Aku tidak mahu kecuali kalian utus juga beberapa orang bersamaku.”

Mereka pun mengutus beberapa orang termasuk ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang paling muda di antara mereka.

Ketika mereka menemui Rasulullah SAW, beliau sediakan kemah buat mereka di sudut masjid agar mereka mendengar al-Qur’an dan melihat kaum muslimin mengerjakan solat.

Akhirnya, mereka tinggal di sana silih berganti menemui Rasulullah SAW yang selalu mengajak mereka kepada Islam. Hingga suatu ketika, pemimpin rombongan itu meminta agar Rasulullah SAW membuat kesepakatan antara beliau dengan Tsaqif. Mereka minta agar beliau mengizinkan mereka berzina, minum khamr, memakan riba, dan membiarkan al-Latta tetap menjadi sembahan mereka serta tidak mengerjakan solat. Mereka juga minta agar berhala mereka tidak dihancurkan oleh tangan mereka sendiri.

Tapi, semua keinginan mereka itu ditolak oleh Rasulullah SAW. Melihat ini, utusan Tsaqif kehabisan akal dan melihat tidak ada jalan lain kecuali mereka harus menerima dan tunduk kepada Islam. Akhirnya mereka masuk Islam dan minta kepada Rasulullah SAW agar menugaskan orang lain menghancurkan al-Latta.

Rasulullah SAW mengabulkan permintaan mereka dan mengangkat ‘Utsman bin Abil ‘Ash sebagai pemimpin mereka. Hal itu kerana utusan tersebut setiap pagi datang kepada Rasulullah SAW dan meninggalkan ‘Utsman. Apabila mereka kembali dan tidur pada waktu siang, maka ‘Utsman datang menemui Rasulullah SAW minta dibacakan al-Qur’an dan bertanya tentang Islam. Kalau dia dapati Rasulullah SAW sedang tidur, dia datang menemui Abu Bakr dengan maksud yang sama, belajar tentang Islam.

Kemudiannya, ‘Utsman menjadi orang yang paling besar sumbangan kepada kaumnya pada zaman riddah (murtadnya beberapa kabilah). Ketika penduduk Tsaqif juga terikut-ikut ingin murtad, dia berkata kepada mereka: “Wahai penduduk Tsaqif. Kalian adalah orang yang paling akhir masuk Islam, maka janganlah kalian menjadi orang yang pertama murtad.” Akhirnya mereka pun tetap di atas Islam.

Para utusan itu kembali tetapi menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Mereka menakut-nakuti penduduk lain bahawa mereka akan diserang dan dibunuh. Mereka nampakkan kesedihan dan kepedihan, bahawa Rasulullah SAW meminta mereka meninggalkan zina, arak, riba dan sebagainya, kalau tidak dia akan memerangi mereka.

Hal itu mendorong bangkitnya sentimen jahiliah penduduk Tsaqif, maka mereka menolak hal itu. Mereka tenang selama dua atau tiga hari bersiap untuk perang. Kemudian Allah SWT masukkan ke dalam hati mereka rasa takut. Mereka pun menemui para utusan itu dan berkata: “Kembalilah kepadanya (Rasulullah SAW) dan berikan apa yang dimintanya.”

Saat itu juga para utusan itu menyampaikan apa yang sebenarnya. Mereka menunjukkan kesepakatan yang telah ditetapkan antara Rasulullah SAW dengan mereka. Akhirnya, penduduk Tsaqif masuk Islam.

Tidak lama kemudian, Rasulullah SAW mengirim beberapa orang untuk menghancurkan al-Latta. Beliau melantik Khalid bin Al-Walid sebagai pemimpin rombongan.

Sesampai di sana, Al-Mughirah bin Syu’bah memukulkan palu yang ditangannya, kemudian dia terjatuh. Ini membuat penduduk Thaif kecoh, dan berkata: “Semoga Allah jauhkan Al-Mughirah, semoga dia dibunuh dewi itu (al-Latta).”

Al-Mughirah melompat dan berkata: “Semoga Allah memburukkan kamu. Dia hanyalah benda hina, sebongkah batu dan bulu.”

Dia pun menghancurkan pintu dan naik ke tembok tempat pemujaan. Lalu naik pula beberapa orang dan meruntuhkan bangunan itu serta meratakannya dengan tanah sampai mencabut tapaknya. Mereka keluarkan kain dan perhiasan pemujaan itu. Sementara orang-orang Tsaqif terdiam, melihat pujaan mereka tidak berdaya apa-apa.

Setelah itu, rombongan Khalid kembali dan menyerahkan perhiasan tempat pemujaan itu dan dibahagi-bahagikan oleh Rasulullah SAW hari itu juga sambil memuji Allah SWT atas pertolongan-Nya kepada Nabi-Nya dan agama-Nya.

http://www.salafy.or.id